Tuesday, February 20, 2007

Laki-laki Kecil yang Malang

Saya tak pernah tahu bagaimana rasanya. Tapi pasti bocah laki-laki berumur 4 tahun itu sangat kesakitan. Atau, dia tidak pernah merasakan sakit lagi.

Saya hanya mampu melihatnya dengan pandangan miris. Mata saya berkaca-kaca. Saya ke luar ruangan itu. Saya tiba-tiba sedih sekali. Mungkin bocah itu tidak akan hidup lama lagi.

Pukul 17.00 WIB, Senin 19 Februari 2007, adik perempuan saya tiba-tiba menelepon. Dia biasanya telepon hanya kalau ada maunya aja. Begitu telepon kuangkat, tanpa ba bi bu, dia langsung nyerocos.

"Dina masuk rumah sakit. Dia di Sentra Medika, sekarang. lagi ditangani di UGD," katanya.

Sabtu 17 Februari, Syifa sempat memberitahuku kalau Dina, ponakan saya yang berumur 10 tahun, kena tipus.

"Hah Dina? Oke, ntar gw ke sana," jawab saya langsung menutup telepon.

Tiba-tiba saja badan saya lemas. Mudah-mudahan nggak parah. Saya hanya berpikir jangan sampai Dina kena DBD. Pikiran saya langsung berseliweran, langsung ingat Syifa yang sempat kritis karena virus DSS, strain DBD, menyerangnya Juni 2006 lalu.

Masih teringat wajah Syifa yang meringis dan menahan perut yang sakit, setelah muntah darah. Teringat bagaimana perawat-perawat dan dokter di UGD Pasar Rebo mengerumuninya. Mencari pembuluh darahnya yang tidak terdeteksi. Mengukur tekanan darahnya yang sudah tidak bisa terdeteksi lagi. Tuhan... saya nyaris kehilangan putri saya.

Dokter sudah angkat tangan. Hanya kehendak Allah yang memberikan mukjizat, sulungku bisa diselamatkan. Masih terngiang-ngiang selama di UGD, dia memanggil-manggil saya. Bunda... Bunda...

Senin, kemarin, saya menyaksikan lagi kejadian serupa. Selagi menjenguk Dina, ponakanku di ruang 302, RS Sentra Medika, Jalan Raya Bogor, kesibukan dan suasana panik (yang disembunyikan perawat dan dokter) terjadi di tempat tidur sebelah Dina.

Saya melihat bocah laki-laki yang sedang 'berjuang' dalam masa kritisnya. Ada 3 perawat dan seorang dokter. Entah karena panik, perawat yang bertugas memasang alat bantu pernafasan beberapa kali gagal menempelkan alat bantu itu di hidung bocah tersebut. Meleset lagi... meleset lagi.

Bocah itu juga kejang-kejang. Di dahinya ada handuk kecil basah untuk mengompres. Panas tinggi dia tampaknya. Tidak ada reaksi yang berarti dari wajahnya, kecuali kejang-kejang. Tidak ada keluhan.

Badannya kurus, tungkai kakinya panjang, langsing. Tiga orang laki-laki, entah om-nya atau kakaknya terlihat mondar-mandir. Tanpa ada rasa iba mukanya, masih bisa senyum-senyum dan bercanda-canda. Saya ingin meninjunya.

Saya tahu dokter wanita itu tidak bisa mendetensi tensi darahnya, berkali-kali dia mengukur. Diulang terus menerus. Persis kejadian Syifa dulu.

Saya nggak tega ngeliatnya, perawat-perawat itu, dari matanya saya lihat, menyiratkan tipisnya harapan. Apakah ayahnya yang datang kemudian merasakan isyarat itu? Entahlah. Ayahnya yang mengenakan topi PT Pos Indonesia, hanya bengong.

Wajahnya menerawang. Bahkan tidak sadar ketika perawat bicara dengannya. "Ya... ya..," katanya gelagapan. "Apa? Oooo," katanya.

"Tolong kompresnya sering-sering diganti Pak," kata perawat itu mengulangi lagi ucapannya.

Mata saya berkaca-kaca lagi. Saya milih ke luar ruangan. 5 menit kemudian saya masuk dan pamit dengan kakak saya. Saya ngenes ngeliat cocah kecil itu.

Tadi pagi kakak sulung saya telepon. Dina anak kakak saya yang nomor dua. Kakak sulung saya menanyakan kondisi Dina. Saya bilang panasnya sudah surut. Saya lalu cerita banyak tentang anak kecil malang itu.

Siang tadi kakak saya telepon saya lagi. Dia cerita baru telepon ke rumah sakit dan kondisi Dina stabil. "Tapi Mi, anak kecil di sebelah Dina yang lu cerita itu, tadi pagi meninggal. Ibunya baru aja pulang, hanya ada bapaknya," kata kakak saya.

"Oh...," hanya itu yang mampu terucap. Mata saya berkaca-kaca lagi. Innalillahi wainalillaihi rojiun. Ya Allah semoga dia damai di sisiMu. Amin.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home